TIMES ACEH, TEGAL – Berdiri depan Balai Desa Mulyoharjo Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, kami bersiap memulai perjalanan menuju sebuah tempat yang konon dijaga bukan hanya oleh manusia, tapi juga oleh waktu dan doa - Makam Mbah Bandar Bolang.
Udara pagi terasa berbeda. Sejuk, tapi bukan sekadar dingin pegunungan. Ada aroma tanah basah, suara burung bersahut-sahutan dan gemericik air seperti membisikkan ketenangan.
Dua kendaraan motor telah berdiri siap. Bersama tiga perangkat desa dan seorang rekan jurnalis senior yang mengenakan ikat kepala batik, kami melaju menyusuri jalan pertanian yang sempit dan kadang licin.
Medan yang kami tempuh sepanjang tiga kilometer itu tidak bisa dianggap enteng tanah merah yang gembur, serta tikungan tajam di antara sawah dan pematang jadi ujian pertama sebelum ziarah sebenarnya dimulai.
Setelah satu setengah jam yang penuh perjuangan, kami tiba di sebuah lembah sunyi dan hanya terdapat dua pendopo, satu pendopo merupakan kediaman dari keturunan Juru Kunci penjaga Makam dan satu pendopo merupakan Makam yang konon dikenal sebagai Mbah Bandar Bolang.
Di sana, di bawah naungan pohon bulu dan menjulang tua, berdirilah sebuah pendopo sederhana. Tempat itu dikelilingi makam - makam tua yang tertata rapi.
Di antaranya yaitu Makam Pandan Jati dan Pandan Sari menyambut di gerbang dan tempat Mbah Sarayudan bersemayam tak jauh dari bangunan utama. Namun pusat dari segalanya adalah satu, Makam Mbah Bandar Bolang.
Penjaga makam yang telah turun-temurun mengemban tugas ini, menyambut kami dengan senyum lembut. “Tempat ini bukan sekadar tanah peristirahatan, tapi ruang hidup bagi doa dan harapan,” ujarnya pelan.
Lelaki itu mengenakan sarung cokelat dan kemeja batik lusuh, namun sorot matanya teduh dan mantap. Ia mulai bercerita alur tentang siapa sebenarnya Mbah Bandar Bolang di Kecamatan Pagerbarang Tegal.
Menurut kisah yang diwariskan secara lisan, Mbah Bandar Bolang adalah sosok sakti yang hidup ratusan tahun lalu. Ia dipercaya memiliki peran penting dalam menjaga ketenteraman wilayah ini dari gangguan, baik yang kasat mata maupun yang tidak.
Masyarakat menghormatinya bukan karena kekuatan semata tapi kebijaksanaannya. Setelah wafat, makamnya menjadi tempat yang dikeramatkan dan bukan dalam arti menyeramkan, tapi menenangkan.
“Kalau datang dengan niat baik dan hati bersih, biasanya akan pulang dengan perasaan yang ringan,” ujar anak dari Juru Kunci sambil menatap sendang di sisi pendopo pertemuan dua sungai kecil yang dipercaya memiliki kekuatan.
Peziarah yang datang kabarnya pun kerap mengambil airnya, membasuh wajah dan bahkan membawanya pulang dalam botol kecil sebagai tanda berkah.
Setiap pada waktu-waktu tertentu yang dianggap sakral, masyarakat berkumpul untuk mengadakan doa bersama. Tahlilan, kenduri, hingga pembacaan riwayat hidup leluhur dilakukan di sini.
Tak banyak yang tercatat dalam arsip atau prasasti, tapi cerita itu tetap hidup dalam ucapan dan keyakinan para tetua desa dan sejarahnya yang menjadi misteri.
"Makam ini ditemukan oleh orang tua kami kala itu dan hingga saat ini kami bersama keluarga menjaga dan merawatnya, agar tidak punah dan tergerus perkembangan jaman" terang sosok penjaga makam.
Selama duduk di pendopo dengan pintu masuk berukuran 1 x 1 meter dengan ruang 2x3 meter dan hanya dapat masuk dengan menundukan kepala , saya membiarkan mata dan pikiran terus menyatu dengan suasana.
Tidak ada sinyal ponsel, tidak ada suara kendaraan. Hanya desir angin, nyanyian daun, dan gema langkah pelan desiran gemercik air sungai di sendang.
Saya menyadari ziarah ini bukan tentang jarak, melainkan tentang kembali. Kembali pada akar, pada kesadaran, bahwa tempat seperti ini bukan sekadar situs budaya ia adalah cermin dari cara kita menghormati sejarah dan spiritualitas.
Menjelang sore, selain kami berpamitan pada sang penjaga, Sebelum pulang, saya menyesap seteguk air sendang dan menundukkan kepala sejenak di depan makam utama. Ada rasa syukur yang tak terucap, seolah tempat ini telah memberi pelajaran tanpa suara.
Makam Mbah Bandar Bolang di Kabupaten Tegal ini memang sunyi, tapi bukan sunyi yang hampa. Ia adalah sunyi yang penuh makna, sunyi yang mengajak kita mendengar lebih dalam pada alam, pada sejarah, dan pada hati sendiri. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menyusuri Sunyi dan Sejarah Makam Mbah Bandar Bolang di Pagerbarang Tegal
Pewarta | : Cahyo Nugroho |
Editor | : Ronny Wicaksono |